Monday, November 13, 2017

Kontrak Kerjasama Migas : Konsesi dan Production Sharing Contract, -part 1

Tulisan kali ini menjelaskan mengenai jenis kontrak kerjasama Migas untuk melengkapi pemahaman kita akan siklus hidup kegiatan eksplorasi dan produksi migas. Apa yang akan ditampilkan dalam tulisan ini merupakan slide presentasi yang dibawakan oleh executive advisor dari SKK Migas, namun tidaklah secara penuh mewakili perspektif dari intitusi.

Presentasi tersebut bisa didownload disini

Dalam pengelolaan sebuah pertambangan, pemerintah menggandeng pihak lain, bisa jadi swasta ataupun BUMN yang bisa memiliki bentuk kontrak kerjasama bermacam-macam. Macam perjanijian antara pemerintah dengan pihak lain (kontraktor) dibagi menjadi tiga macam, yakni :

1. Concession
2. Production Sharing Contract
3. Service Contract

Alur skematik bentuk kontrak kerjasama tersebut bisa dilihat pada gambar dibawah ini :


Bentuk kerjasama concession atau konsesi adalah bentuk yang terlebih dahulu ada dalam pengelolaan migas. Konsesi adalah bentuk kontrak perjanjian dalam industri migas antara negara dengan operating company untuk mengeksplorasi sumber daya migas.

Perusahaan yang beroperasi, baik bisa satu badan ataupun berbentuk konsorsium, harus membeli lisensi untuk bisa mengeksplorasi sebuah wilayah kerja. Selain itu, keuntungan pemerintah juga didapat dari biaya konsesi yang jumlahnya berdasarkan jumlah dan kualitas migas yang diproduksi, yang harus dibayarkan oleh pihak perusahaan kepada negara yang penentuan harganya telah ditetapkan pada saat penandatanganan konsesi.

Pada prakteknya, negara produksi akan menerima biaya konsesi ini tidak bergantung pada untung maupun ruginya operating company. Semua biaya dan resiko diserahkan kepada operating company, termasuk juga keuntungan. Jatah untuk pemerintah akan selalu ada. 

Yang menjadi polemik antara negara produksi dengan operating company adalah harga migas yang fluktuatif yang bisa menyebabkan kontrak kerjasama menjadi tidak seimbang. Yakni, ketika harga migas melonjak tajam hingga mencapai 100 dollar per barrel, sedangkan biaya konsesi tetap karena sudah ditentukan diawal

Kenapa hal ini menjadi sangat penting?

Ingat, migas adalah komoditas strategis. Semua negara pasti butuh migas untuk menunjang kegiatan perekonomiannya. Jadi, negara juga harus bisa memproduksi migas. Jika belum bisa mencukupi kebutuhannya, negara harus membeli/ mengimpor dari pihak lain. Harga migas yang tinggi, tanpa adanya subsidi pemerintah, akan menyebabkan inflasi. Sementara, keuntungan yang didapat dari suatu wilayah kerja migas masihlah tetap. Akibatnya, bisa terjadi defisit anggaran. Uang yang harusnya dibuat untuk pembangunan, harus dialokasikan sebagai subsidi untuk mencegah inflasi.

Hal ini tentu saja memicu negara produksi untuk melakukan re-negoisasi yang tentunya akan sulit untuk diterima operating company. Hal ini dikarenakan, tidak hanya akan mengurangi margin keuntungan operating company yang naik, tetapi juga tidak adanya jaminan bahwa biaya konsesi baru bisa direvisi kembali ketika harga migas turun selama sisa periode konsesi. 

Naiknya harga migas secara signifikan dan juga sangat berfluktuasi bergantung pada banyak faktor. Hal ini dipandang tipe kontrak konsesi tidaklah fleksibel, dan beralih pada sistem perjanjian kontrak yang lain. Salah satunya adalah production sharing contract (PSC).

PSC merupakan jenis perjanjian terkait pembagian persentasi hasil produksi migas antara pemerintah dan pihak lainnya yang terlibat, yang biasa disebut sebagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS). Hal ini bisa dilakukan kalau pemerintah juga terlibat dalam kegiatan industri migas tersebut. Maka, untuk menunjang hal tersebut, ditunjukklah National Oil Company (NOC), misalkan Pertamina, Saka Energi, dan sebagainya untuk ikut serta sebagai bagian dari kontraktor KKS yang memilki participacing interest dalam pengelolaan suatu wilayah kerja bersama dengan International Oil Company (IOC). Dengan demikian, adanya transfer pengetahuan ke NOC oleh IOC dan juga adanya beberapa kontrol terhadap pengembangan wilayah kerja menjadi fungsi lain dari perjanjian PSC ini. Kelak, jika kontrak KKS sudah habis dan wilayah kerja masih produktif, maka NOC bisa didorong untuk menggantikan peran IOC.

Peran IOC lebih dominan dalam menentukan keputusan terkait strategi pada waktu fase eksplorasi. Dalam fase development, peran NOC mulai terlibat dan dalam pengoperasian diharapkan mulai ditunjukkan kontribusi lebih NOC dalam pengelolaan suatu wilayah kerja. Dalam menjalankan PSC ini, Indonesia pernah melakukan dengan menggunakan dua cara, yakni dengan menggunakan sistem cost recovery (pengembalian biaya) dan gross split yang digunakan pada tahun 2017.

Mari kita lihat skematik dibawah ini untuk melihat kedua perbedaan antara PSC gross split dan juga cost recovery:


Pada skema PSC cost recovery, hasil migas harus dipotong untuk pengembalian investasi sebelum menjadi profit oil atau keuntungan yang di-share antara pemerintah dan kontraktor. Meskipun, persentase pemerintah besar dalam pembagian tersebut, bisa jadi secara keseluruhan akan menjadi kecil karena pemerintah harus membayar cost recovery kepada kontraktor KKS. Maka dari itu, skema cost recovery dipandang bisa menjadi perdebatan dan kesalahpahaman akibat biaya-biaya apa saja yang bisa masuk dalam cost recovery. 

Terbukti, bisa lihat contoh kasusnya dalam tautan berikut : 

Hal ini tentu saja menimbulkan sesuatu yang kontra-produktif. Namun, pada skema cost recovery perlu diketahui bahwa hanya wilayah kerja yang dinilai komersilah yang akan mendapatkan cost recoveryPertanyaan yang mungkin timbul adalah apa yang menentukan suatu wilayah kerja bernilai komersil? Apakah semata-mata hanya mengandalkan jumlah cadangan migasnya yang terbukti berlimpah? 

Kita layaknya harus kembali lagi kepada hal yang menyebabkan perubahan kontrak dari konsesi ke tipe PSC. Hal ini juga mendasari perubahan PSC tipe cost recovery menjadi gross split.


bersambung ...

1 comment:

Leave your comment, any urgent message please mail me !